fanfiction

My Precious part 3


 

Author       :  Han Rae In

Title          :   My Precious part 3

Length      :   series

Genre       :   Romance

Rating      :   PG 13+

Main Cast   :

  • Park Jiyeon
  • Park Sanghyun

note: yei, akhirnya selesai juga.. ini ff sengaja di post pas lebaran, maksudnya sih mirip THR gitu, haha

makasih banyak buat yang udah baca, komen, juga nungguin  ff ini..dan untuk suamiku tercinta Mr. Choi, maafkan istrimu selama setahun iniya, sebaliknya akupun akan memaafkanmu yang foto bareng si tiffany itu -,-

lupakan kegajean saya, dan sekarang saatnya bilang happy reading~

My Precious 3

 

Sanghyun POV

“Aku merasakan kakiku hampir saja lepas. Bagaimana tidak? Aku mengangkat barang-barang Jenny noona kelantai 2 hanya bersama 2 orang dari jas angkut barang. Sementara 2 perempuan aneh itu sedang asik bertukar cerita, tidak peduli banyaknya barang yang belum diangkut. Harus kuakui, mereka berdua itu sangat mirip, bahkan belum sampai 1 jam yang alu mereka berkenalan. Sekarang sudah terlihat sepertimorang yang sudah kenal bertahun-tahun lamanya. Dan ada satu hal lagi yang kusadari, mereka itu mirip si Sandara Park, kakakku yang penindas itu. Diam-diam aku membayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka bertiga bersatu. Pasti kiamat untukku!

“Jadi eonni bukan orang Korea?” tanya Jiyeon pada Jenny eonni ketika aku mengangkut barang untuk yang ke-7 kalinya.

“Aku hanya ada sedikit keturunan Korea dari neneknya nenekku. Aku ini orang Indonesia asli. Begitupun namaku. Panjang dan sama sekali tidak ada unsur Korea kan?” jawab Jenny noona menanggapi pertanyaan Jiyeon.

“Tidak bisakah kalian membantuku mengangkut barang dulu, baru melanjutkan sesi curhat kalian itu?” tegurku setelah meletakkan kardus besar yang entah apa isinya.

“Tapi bahasa korea eonni bagus sekali. Dialek eonni juga tidak aneh,” ucap Jiyeon, sama sekali tidak menggubris perkataanku.

“Soal itu, aku diajari nenekku. Selain itu, pekerjaanku sebagai penerjemah buku juga di acara formal membuat bahasa koreaku fasih,”

“Hei, kalian mendengarkanku tidak?” tegurku lagi, mencoba sabar.

“Eonni hebat sekali. Baru 23 tahun tapi sudah jadi penerjemah di penerbit dan acara formal,” puji Jiyeon, sama sekali tidak mempedulikanku.

“Tidak sebagus itu juga, hehe. Oh iya, kau bilang tinggal berdua bersama temanmu, bukan? Bukan Sanghyun ssi,kan?” timpal Jenny eonni.

“Tentu saja bukan. Temanku itu jarang ada di rumah akhir-akhir ini karena dia harus berlatih untuk debut perdananya sekitar satu bulan lagi,” jelas Jiyeon.

“Oh, kukira kalian tinggal bersama. Karena setahuku banyak pasangan di korea tinggal serumah walaupun belum menikah,”

“Ya! Eonni! Kami bahkan baru selesai ujian kelulusan, jadi bagaimana mungkin-“ penjelasan Jiyeon dipotong oleh Jenny noona.

“Oke,oke, aku mengerti. Tapi pacarmu itu baik ya, mau membantuku,” ujar Jenny noona sembari mengedarkan pandang ke barang-barang yang sudah terangkut dan tanpa sengaja tatapan kami bertemu.

“Tidak, kami-“ Jiyeon hendak menjawab namun namun segera terpotong perkataan Jenny noona.

“Hei, Sanghyun!” jenny noona melambaikan tangannya heboh padaku yang masih mematung sejak tadi. “Sejak kapan kau disana?” sapanya yang membuatku ingin meledak rasanya.

“Eh, Park Sanghyun, dari tadi kemana saja? Tidak kelihatan,” komentar Jiyeon yang menoleh kepadaku. Sungguh. Rasanya aku ingin sekali meledak saat ini. Dalam hati aku sungguh bertekad tidak akan mempertemukan 2 makhluk didepanku ini dengan si sandara.

“Aku mau pulang. Sudah jam 11 malam,” ucapku datar.

“Ya ampun! Cepat sekali waktu berlalu,” ucap Jenny noona. Tentu saja cepat, karena kalian sibuk mengobrol sejak tadi, rutukku dalam hati.

“Baiklah, aku antar sampai depan,” kata Jiyeon sembari beranjak dari sofa warna kuning gading yang ia duduki.

“Terima kasih banyak!” seru Jenny noona dari dalam apartemennya, menyertai langkah kami saat menuruni tangga untuk ke lantai satu. Dan sepanjang itulah Jiyeon menatapku terus, sedangkan aku yang ditatap hanya bisa memalingkan wajah, terlalu malu ditatap seperti itu.

“Kenapa memandangiku terus?” tegurku akhirnya.

“Park Sanghyun, kau kesal ya? Karena aku dan Jenny eonni tadi tidak ikut membantu?” tanyanya dengan tampang polos.

“Tidak juga,” jawabku, luluh saat melihat wajahnya.

“Benarkah? Baguslah. Oh ya, Sanghyun, apa baik-baik saja kalau Jenny eonni juga menganggap kita pacaran?: tanyanya pelan.

“Aku pulang. Dah!” tukasku lalu melesat pergi dengan cepat. Sementara Jiyeon berteriak karena aku pergi tanpa menjawab pertanyaannya. Jujur saja, aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Ya! Park Sanghyun!” begitulah teriakan Jiyeon terdengar. “Huh! Selalu saja meninggalkanku dengan cara yang aneh,” dengus Jiyeon.

****

Jenny POV

“Terima kasih banyak!” seruu pada Jiyeon dan Sanghyun. BRUK! Aku menghempaskan tubuhku diatas sofa empuk, sehingga mataku dapat bebas menatap langit-langit apartemen baru ini. Apartemen ini walaupun tua, tapi selebihnya cukup besar dan nyaman juga. Ditambah tetangga-tetangga yang baik, batinku mengingat Seung Won ahjussi dan anak laki-lakinya yang membantuku, juga Jiyeon dan Sanghyun yang membantu setelah Seung Won ahjussi dan anak laki-lakinya pergi.

“Orang itu tidak salah memilihkan apartemen ini untukku,” ucapku dalam hati seraya tersenyum kecil. Namun, baru sekitar 5 detik senyumku terpasan, tiba-tiba terdengar lagu original soundtrack film ‘white cursed melody’. Kucari handphoneku yang ada di meja kecil lumayan jauh dari sofa tempatku duduk.

“Astaga, lagunya terputar sendiri di handphone. Bagaimana ini? Suasananya jadi menyeramkan,” batinku panik. Kugerakkan kepalaku kekiri dan kanan, entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, tapi aku merasa seperti ada sesuatu disebelah kanan dan kiriku.

“UWAA!” teriakku lalu mengambil langkah seribu menuju pintu. Namun saat baru menggapai kenop pintu, aku teringat sesuatu. Kubalikkan tubuhku untuk mengambil handphone yang semenjak tadi berkedap-kedip. Kuraih benda kecil itu untuk memastikan sesuatu. Benar saja, dilayarnya tertera dengan jelas, ‘INCOMING CALL, Kimochi’

Saat itu juga aku langsung tertunduk lesu merutuki kebodohanku.

“Aku yang mengganti ringtonenya tapi aku juga yang ketakutan. Bodohnya kau, Rani!” rutukku sebelum menekan tombol answer.

“Ya, ini aku,” sapaku pada orang diseberang sana.

“Bagaimana? Kau suka apartemennya?”

“Suka. Dari luar memang tua dan kecil, tapi dalamnya cukup luas dan nyaman,” komentarku menanggapi.

“Baguslah. Maaf ya aku baru menelponmu,”

“Tak apa, aku tahu kau sibuk. Tapi kenapa harus malam sih pindah rumahnya?” tanyaku sembari kembali duduk.

“Maksudnya sih agar aku bisa ikut membantu mengingat aku hanya punya waktu di malam hari. Tapi sekarang aku justru belum pulang. Kau pasti lelah,”

“Iya, lelah sekali. Untungnya aku dibantu oleh tetangga, jadi ruang dapur dan kamar sudah ditata. Hanya tinggal ruang tamu dan ruang tengah yang masih berantakan,” terangku dengan mata tertutup, mulai mengantuk.

“Tetangga?”

“Iya, mereka baik,”

“Hati-hatilah saat bicara dengan mereka. Jangan sampai kau membocorkan rahasia kita,”

“Iya, aku ingat betul kalau soal itu,”

“Maaf ya,” ucapnya. “Maaf karena selalu saja merepotkanmu,”

“Hm,” hanya itu jawabanku karena mataku yang sudah melekat.

“Baik, kau tidurlah,”

“Iya, kau juga istirahatlah,” ucapku sesaat sebelum mengakhiri percakapan via telpon kami dan tertidur pulas diatas sofa.

****

Ji Eun POV

Aku tahu dan sungguh sangat tahu kalau matahari sudah naik, tapi tetap saja tubuhku ini kaku, tak bisa diajak bekerja sama akibat pulang larut sekitar pukul 12.00 tadi malam.

“Jiyeon, bangun,” ucapku dengan suara masih serak pada Jiyeon yang masih tidur berbaring disampingku.

“Hm? Kau saja duluan, Ji Eun,” responnya sembari berganti posisi menjadi tidur menyamping.

“Aku membangunkanmu agar kau dulu yang bangun, Jiyeon,” jawabku seadanya dengan posisi tengkurap dan kepala tenggelam di bantal yang empuk.

“Aku masih ngantuk dan malas sekali, Ji Eun,” jawabnya dengan suara tidak jelas.

“Sama, aku juga. Begini saja, kita bangun bersama pada hitungan ketiga,” saranku masih dengan mata terpejam.

“Baiklah,” kata Jiyeon setuju dengan malas-malasan lalu bergerak lagi dan kini kulihat sekilas, ia sudah dalam posisi sama sepertiku, tengkurap dengan wajah yang terbenam di bantal.

“Satu…” pancingku.

“Dua…” sambung Jiyeon.

“Tiga” ujar kami bersamaan. Namun beberapa detik sudah terlewati tapi tak ada satupun dari kami yang bangkit, dan justru makin terlelap.

“Ji eun, kenapa kau tidak bangun?” tanya Jiyeon padaku.

“Aku lelah sekali. Semalam pulang tengah malam,” jawabku apa adanya.

“Aku juga. Semalam tidur malam karena membantu tetangga baru,”

“Oh, tetangga baru yang SeungWon ahjussi bilang ya?” tanggapku.

“Iya,” jawab Jiyeon lalu tak bersuara lagi. Sepertinya ia tidur lagi. Aku pun berniat melakukan hal yang sama, sampai suara ketukan pintu yang kelewat keras membuat niatku dan Jiyeon menguap entah kemana. Kami langsung melompat dari ranjang kami dan bergegas membukakan pintu. Tepatnya Jiyeon. Sepertinya tadi ia sudah pulas, sehingga saat ada suara keras ia langsung kaget dan bangkit paling cepat seperti orang mengigau lalu membukakan pintu.

“Jenny eonni,” gumam Jiyeon ketika melihat siapa yang datang. Matanya sudah terbuka penuh sekarang.

“Hai, Jiyeon. Boleh aku masuk?” ujar perempuan yang dipanggil Jenny eonni oleh Jiyeon itu. Perempuan itu mengacungkan dua piring berisi makanan yang ada ditangannya sebagai akses agar bisa masuk. Aneh, aku tidak pernah melihatnya. Apa tean Jiyeon?

“Tentu saja,” jawab Jiyeon dengan senyum simpulnya. Sementara perempuan itu masuk dan meletakkan piringnya di meja, tatapan kami bertemu. Aku hanya bisa melempar senyum ketika ia mendekat kearahku.

“Kau pasti teman serumah Jiyeon ya?” tanyanya ramah.

“Iya. Aku Lee Ji Eun,” tukasku seraya sedikit membungkuk.

“Aku tetangga baru kalian, apartemenku tepat berhadapan dengan apartemen kalian. Namaku Ananda Jenny Kusumarani, kau bisa memanggilku Jenny eonni saja seperti Jiyeon,” ujarnya memperkenalkan diri. Sedangkan aku agak bingung mendengar namanya yang asing itu.

“Jenny eonni adalah orang Indonesia, dan jangan heran jika bahasa koreanya sangat lancar, karena dia adalah translator bahasa,” terang Jiyeon tanpa kuminta, membuatku mengangguk-angguk mengerti.

“Oh ya, aku masih punya satu piring lagi,” serunya lalu berlari heboh menuju apartemennya.

“Dia itu supel ya,” komentarku. “Melihatnya, aku merasa seperti melihat dirimu beberapa tahun mendatang, Jiyeon. Sifat kalian mirip,” sambungku.

“Begitukah?” tanya Jiyeon yang kujawab dengan anggukan.

****

                “Eonni,makanan apa ini?” gumam Jiyeon dengan mata terpaku pada makanan yang ada dihadapannya.

“Iya, eonni. Apa ini? Mirip nasi goreng Cina tapi warnanya lebih coklat,” timpalku.

“Ini memang nasi goreng,” jawabnya santai lalu mulai menyendok makanannya dan memasukkannya ke mulut. Sedangkan aku dan Jiyeon masih agak ragu untuk mencobanya.

“Kenapa? Sudahlah, santai saja. Walaupun wajahku ini tidak terlalu meyakinkan kalau aku bisa masak, tapi aku berani jamin rasa dari masakanku ini bisa meyakinkan kalian. Ayo cepat dicoba,” kata Jenny eonni. Akhirnya karena kasihan, aku mecobanya juga, hanya saja tidak satu sendok penuh, hanya seperenam bagian sendok tepatnya.

“Bagaimana?” tanya Jiyeon dan Jenny eonni bersamaan tepat setelah aku menelan nasi goreng itu.

“Hm, rasa nasi gorengnya memang agak asing, tidak seperti nasi goreng Cina atau nasi goreng lain yang pernah kucoba. Tapi ini enak sekali,” jawabku. Dapat kudengar helaan nafas lega Jenny eonni.

“Aku juga mau mencobanya,” seru Jiyeon kemudian mengambil sendoknya dan mulai makan. awalnya kulihat Jiyeon mengunyah begitu lama untuk memastikan rasanya tapi lama-kelamaan semakin cepat sampai nasi goreng di piringnya itu tak bersisa.

“Eonni, ini enak sekali,” ujar Jiyeon seraya mengacungkan ibu jarinya.

“Benarkah? Aku sudah menduganya,” Jenny eonni tersenyum menimpali.

“Eonni, apa masih ada barang yang belum diangkut? Kami bisa membantu eonni,” kataku.

“Ah, tidak, tidak. Seorang temanku sudah mengirimkan lima orang dari jasa angkut barang tadi pagi,”

“Tapi kenapa eonni disini? Bukankah seharusnya eonni disana untuk menata barang-barang itu?” tanyaku lagi.

“Itu tidak perlu. Karena selain 5 orang itu, temanku juga mengirim 2 orang interior designer untuk menatanya. Jadi kalian tidak perlu khawatir. Lagipula semalam Jiyeon dan Sanghyun sudah membantuku sampai larut malam,”

“Sanghyun? Park Sanghyun maksudnya? Bukannya dia itu…” aku baru saja ingin memastikan Park Sanghyun yang dibilang Jenny eonni adalah Park Sanghyun yang tidak mau mengajari Jiyeon bermain gitar seperti kata Jiyeon beberapa waktu lalu.

“Dia itu pa-“

“Jenny eonni!” penjelasan Jenny eonni terpotong oleh panggilan Jiyeon yang lebih mirip teguran itu.

“Ada apa Jiyeon? Kenapa memanggilku sekeras itu?”

“Tidak, a-aku hanya kagum. Temanmu baik sekali sampai mengirim interior designer segala. Pasti dia orang kaya,” sahut Jiyeon diikuti hembusan nafas leganya kemudian. Aku sudah 3 tahun mengenal Jiyeon, jadi dengan melihat reaksinya saja aku langsung tahu ada yang aneh.

“Iya, temanku itu baik sekali,” Jenny eonni menjawab pertanyaan Jiyeon dengan perubahan ekspresi yang begitu jelas. Senyumnya sedikit memudar dan berubah murung.

“Eonni kenapa?” tanya Jiyeon tampak khawatir.

“Tidak, aku tidak apa-apa. Oh ya, daripada kalian yang membantuku, lebih baik aku yang membantu kalian,” Jenny eoni seperti melupakan apa yang dipikirkannya tadi dan tersenyum kembali.

“Membantu kami?” tanyaku. Aku dan Jiyeon jadi saling bertatapan bingung.

“Iya. Lihat apartemen kalian. Apa bisa dikatakan apartemen ini milik 2 orang perempuan? Sangat berantakan,” ujar Jenny eonni sambil memandang sekeliling, sementara kami menunduk malu.

“Ayo kita bersihkan. Dimana sapunya?” Jenny eonni lalu beranjak mencari sapu disusul Jiyeon kemudian. Aku masih ditempat, masih mencoba menggali memoriku tentang seseorang bernama Park Sanghyun. Aku yakin pernah bertemu atau mengenalnya mungkin. Tapi siapa dia? Dan dimana aku bertemu atau mengenalnya.

****

Author POV

“Ya, Ayah,” ucap Sanghyun mengangkat telpon setelah sebelumnya memberikan kode pada Jino, Key, dan Minho untuk berhenti bermain.

“Apa harus sekarang?” Sanghyun meletakkan gitarnya sementara terfokus pada pembicaraan di telpon. Ketiga temannya yang masih memegang alat musik masing-masing jadi saling bertatapan tidak mengerti.

“Tentu saja tidak. Aku tidak pernah melanggar kata ayah sebelumnya bukan? Lagipula semuanya sudah ayah buang. Jadi bagaimana bisa aku bermusik?” ujar Sanghyun mulai tersulut emosi.

“Iya, memang aku bersama Key, Jino, dan Minho. Tapi itu bukan berarti kami bermain lagi. Dan ini hari Minggu ayah, hanya sehari dalam seminggu saja tak bisakah ayah biarkan aku berkumpul bersama mereka?” Sanghyun benar-benar emosi saat ini. Ia tak suka ayahnya membawa nama teman-temannya dalam perdebatan mereka.

“Sini, berikan padaku,” tanpa persetujuan Sanghyun, Key merebut ponselnya.

“Ayahku itu keras kepala. Aku yakin kau tidak akan bisa membujuknya,”

“Kita lihat saja.- Paman, ini aku, Kibum. Ya, apa kabar paman?” Key tak menghiraukan perkataan Sanghyun dan justru berbasa-basi ria dengan tuan Park. Sepertinya pria itu terlalu asyik mengobrol sampai tanpa sadar melangkah keluar dari ruang latihan band mereka.

“Hey, menurutmu apa Key bisa membujuk tuan Park?” tanya Jino tiba-tiba yang langsung mendapat gelengan yakin Sanghyun.

“Kenapa tidak? Menurutku itu bisa saj,” respon Minho.

“Bagaimana kalau kita taruhan? 15.000 won? Bagaimana?” tawar Jino dengan mata berbinar. “Karena Sanghyun anak tuan Park, jadi seperti kata anaknya, aku yakin Key tidak bisa membujuknya,” tukas Jino sembari merogoh 15.000 won dari sakunya.

“Kalau begitu aku sebaliknya,” ujar Minho mengeluarkan 15.000 won. Sementara sanghyun menggelengkan kepala melihat tingkah kedua temannya itu.

CKLEK! Suara pintu yang dibuka Key membuat yang lainnya menoleh.

“Kalian berdua! Kenapa menatapku begitu?” protes Key pada Minho dan Jino.

“Bagaimana?” Sanghyun angkat bicara.

“Beres. Mulai sekarang Sanghyun bebas berkumpul bersama kita tanpa dicurigai. Yah, walaupun masih dilarang bermusik,”

“Mana 15.000 wonku? Bukan, tapi 30.000 wonku,” Minho menadahkan tangannya pada Jino.

“Ini 15.000 won. 15.000 won lagi kau minta pada orang disebelah sana itu,” kata Jino lalu dengan amat sangat terpaksa mengembalikan 15.000 won Minho disertai mata yang menatap tajam Sanghyun.

“Ya! Aku kan tidak ikut,” protes Sanghyun.

“Iya, tapi tetap saja kau yang membuatku kalah. Padahal tadi aku ingin bilang Key pasti bisa, tapi karena mendengarkan pendapatmu aku jadi kalah,” Jino menggerutu tidak jelas.

“Jino, terkadang hidup memang tak adil, aku paham itu,” ucap Minho sembari menepuk-nepuk pundak Jino prihatin. Sedangkan Jino menatap Minho dengan tatapan ‘akting! Manusia dusta kau, Minho!’

“Tapi ada syaratnya,” tukas Key tiba-tiba membuat yang lain mematung menunggu kelanjutan ucapan Key.

“Syaratnya, Sanghyun, kau harus membawa Jiyeon kerumahmu nanti sore sekitar jam 4,”

“Mwo?”

“Hehe. Tadi aku meyakinkan ayahmu dengan bilang selama ini kau sibuk karena sudah punya pacar, sehingga jarang berkumpul bersama kami. Makanya ayahmu bersikeras ingin bertemu pacar pertama anaknya,” Key menunjukkan cengiran lebarnya.

“Key! Kau ini! Aish!”

                “Park Sanghyun, bisa pelan sedikit? Aku tidak mau mati konyol karena sepedamu ini menabrak,” ujar Jiyeon dari balik badan Sanghyun yang fokus mengayuh sepedanya.

“Ya! Pelan sedikit kataku!” ulang Jiyeon ketus karena ucapan awalnya tidak digubris.

“Sudah, pegangan saja yang kuat. Salahmu sendiri, telat sampai 30 menit,” balas Sanghyun pelan namun berhasil membuat Jiyeon diam.

“Jangan salahkan aku. Salahkan kenapa C.N Blue ada di tv tadi,”

“Ini juga bukan mauku. Tapi kesan pertama itu penting. Apalagi ayahku itu seorang pebisnis, dia sangat menghargai waktu,”

“Iya, iya, maaf,”

“Aku akan mengayuh 2x lebih cepat. Jadi pegangan yang erat!” ujar Sanghyun memperingatkan.

“Mwo? Tidak mau. Siapa kau sampai aku harus memegang pinggangmu,” elak Jiyeon sementara tangannya memegang erat jok sepeda Sanghyun.

CKIT! Sanghyun berhenti mendadak, membuat Jiyeon menggerutu karena wajahnya membentur punggung Sanghyun cukup keras.

“Ya! Kenapa berhenti mendadak?” semprot Jiyeon mengelus dahinya. Perlahan Sanghyun memutar kepalanya menghadap Jiyeon dan ditatapnya lembut gadis itu.

“Kau tanya aku siapa?” tanya Snghyun lebih kepada dirinya sendiri. “Aku adalah pacarmu. Pacar seorang Park Jiyeon,” lanjutnya lalu menampakkan senyum manisnya. Jiyeon merasa sekitarnya menjadi hening seketika.

DEG. Jiyeon merasa ada yang salah dengan jantungnya saat mendengar ucapan Sanghyun. “Kenapa rasanya debar jantungku lebih cepat dari sepeda Sanghyun?” batin Jiyeon bertanya.

“Ayo jalan lagi,” kata Sanghyun halus. Dengan takut-takut Jiyeon memindahkan tangannya dari jok sepeda. Sanghyun tersenyum samar karenanya.

Rerumputan pinggir jalan yang bergoyang, jalanan yang tenang, juga hembusan angin sore yang menerpa rambut halus dan wajah putihnya membuat gadis itu nyaman.

“Ya! Jangan berpegangan pada bajuku! Itu membuatnya kusut!”

Dan tentu saja ditambah sungutan Sanghyun yang entah kenapa membuatnya ingin tersenyum selebar mungkin. Gadis itu menikmati sore ini. Sangat.

Sanghyun POV

“Wuah..rumahmu besar sekali, sanghyun ssi!” puji Jiyeon yang menatap kagum rumahku. Sebenarnya sudah banyak orang yang mengatakan itu, tapi entah kenapa berbeda rasanya kalau gadis ini yang mengucapkan.

“Ayo masuk,” responku berjalan mendahuluinya yang masih sibuk sendiri.

“Aish, tunggu aku,” tukasnya kemudian mensejajarkan langkah.

Kulihat ia masih saja celingak-celinguk saat kami sudah menginjak ruang tamu. Ada seorang pria paruh baya tengah duduk disana dengan mata yang masih terfokus pada i-pad ditangannya. Raut wajahnya yang serius membuat orang dapat dengan mudah menebak orang seperti apa dia.

“Ayah, aku pulang,” sapaku. Pria itu mengalihkan pandangannya, lalu menatap kami. “Ini temanku, Jiyeon,” lanjutku seraya menunjuk Jiyeon. Awalnya gadis itu agak kaget saat kusebut namanya, namun tak butuh waktu lama baginya untuk mengontrol diri.

“Apa kabar paman? Aku Park Jiyeon. Senang bertemu dengan paman,” ucapnya manis seraya tersenyum lalu membungkuk 90 derajat.

“Silakan duduk,” respon ayahku sembari memandang Jiyeon lekat-lekat.

“Terima kasih, paman,” balas Jiyeon kemudian duduk setelah sebelumnya merapikan mini dress yang dikenakannya. Gadis itu tidak terlihat seperti Jiyeon yang biasanya. Saat ini ia terlihat sopan dan…anggun?

Jiyeon menatapku tidak nyaman. Ini sudah 30 menit kami bertiga duduk tanpa mengobrol sepatah kata pun. Untuk seseorang yang menyukai keramaian seperti Jiyeon kurasa memang akan merasa risih terjebak dalam suasana kaku seperti ini. Apalagi jika dalam kurun waktu itu ia terus menerus ditatap oleh ayahku yang seakan menginterogasinya.

“Jadi kau kekasih anakku?” tanya ayahku serius.

“Ah, ya, paman,”

Hening lagi.
“Oh ya, apa hobi paman?” Jiyeon mencoba mencairkan suasana.

“Bekerja,” jawab ayahku singkat, tak memberi celah pada Jiyeon untuk bertanya lebih lanjut.

“Oh begitu ya?” ringis Jiyeon. Sepertinya ia mulai menyerah dan lebih memilih memandangi pergerakan jarum dari jam dinding bermotif zebra yang tergantung tak jauh dari kami. Tiba-tiba mata bulatnya itu menoleh padaku disertai sebuah senyum penuh arti.

“Paman, kata Sanghyun paman punya perusahaan mainan ya?” tanya gadis itu dengan nada ramah.

“Hm,” ayahku berdehem sebagai jawabannya.

“Karena paman punya perusahaan mainan, berarti paman pasti tahu cara bermain catur bukan?” tanya Jiyeon. Ada nada menantang didalamnya.

“Tentu saja. Aku sering mendapat pujian di bidang itu,” jawab ayahku meladeni. Apa aku tidak salah lihat? Ayahku seperti sosok yang berbeda sekarang.

“Benarkah?” tanya gadis itu lagi dengan menampakkan tampang tidak percayanya. Berani sekali dia.

“Ayo kita main. Jangan menangis jika nanti kau kalah telak dariku,” balas ayahku kemudian beranjak dari sofa dan berjalan menuju kebun belakang. Diikuti Jiyeon yang membuntutinya setelah sebelumnya tersenyum padaku.

Jadi ini maksud senyum penuh artinya tadi. Memancing ayahku untuk membuka dirinya. Ide yang tidak buruk. Boleh juga kau, Park Jiyeon.

                “Hahaha! Lihat wajahmu!” sebuah suara berhasil menarikku untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dan cukup membuatku terkejut setelah tahu pemilik suara itu adalah ayahku.

“Paman harusnya berkaca dulu sebelum mengataiku. Lihat hidung paman yang putih itu,” kulihat Jiyeon membalas perkataan ayahku dengan memajukan mulutnya. Wajah gadis itu sudah tak karuan, serbuk warna putih mendominasi wajahnya.

“Setidaknya aku hanya kalah 2 kali dari 7 kali main, haha,” tukas ayahku bangga dengan warna putih yang menempel dihidungnya. Ck ck, park Jiyeon telah berhasil menyebar virusnya.

Ayahku masih tertawa dengan lepasnya sampai akhirnya pandangan kami bertemu. Cukup lama kami bertatapan hingga pria itu berdehem malu, namun tak membuang rona kegembiraan di wajahnya.

“Sanghyun, lihat wajah kekasihmu ini. Persis hantu di film juon,” sahut ayahku secara tidak langsung mengajakku bergabung dalam permainan mereka.

“Haha,” aku tertawa kecil menanggapinya. “Ayah, dia itu sudah jelek jadi jangan membuatnya marah, karena itu membuatnya jadi tambah jelek,” sabungku yang disambut senyum kecut Jiyeon.

“Ayah setuju,” ucap ayahku masih dengan tawanya.

Kuhampiri Jiyeon dan membersihkan wajahnya dengan tanganku. Seketika matanya membulat terkejut. Maaf membuatmu kaget, Jiyeon, tapi ini kulakukan agar ayahku percaya. Beberapa saat lamanya kami dalam situasi seperti ini. Jari-jariku bergerak bebas di wajah halusnya untuk menghilangkan noda bedak disana sementara mata kami saling bertemu. Aneh, kenapa rasanya gadis yang kutatap itu terlihat berbeda dimataku? Baru kusadari kalau ia cantik.

“Ehem, sudah jam 7. Ayo kita makan malam,” ayahku merusak atmosfir romantis yang tercipta.

Jiyeon POV

“Wah,” decakku kagum melihat isi dari rumah pohon milik Sanghyun waktu kecil. Kutelusuri setiap inci dinding kayunya dengan disertai kekaguman tiada henti. Barang-barang berupa mainan berbagai jenis menghiasi setiap sudut ruangan. Karpet bulu, lampu gantung model klasik, juga ranjang mini memberikan kesan nyaman dalam ruangan kecil ini.

“Sanghyun ssi, mainanmu banyak sekali. Apa ini semua dari perusahaan ayahmu?” tanyaku pada Sanghyun yang tengah asyik dengan lagu yang mengalun di telinganya melalui headset. Sehingga tanpa sadar menggerakkan pelan kaki jenjangnya yang menjuntai di udara.

“Sanghyun ssi!” panggilku lagi yang kini sudah duduk disampingnya.

“Apa? Kau mau dengar juga?” tanya Sanghyun balik sembari melepas sebelah headset putihnya dan memasangnya ditelingaku. Aku hanya diam menrima perlakuannya.

“Mainan didalam. Apa itu semua dari perusahaan ayahmu?” ulangku.

“Bukan. Memang benar dari ayahku, tapi bukan dari perusahaannya. Kau tahu? Dulu ayahku tidak sekaya ini. Perusahaannya sekarang ia mulai dari nol. Waktu aku masih kecil, karena ayahku merasa tidak mampu memenuhi kami secara materi, ia jadi sering membuat mainan untukku dan kedua kakakku. Semua mainan di dalam dan bahkan rumah pohon ini ia buat dengan tangannya sendiri sebelum ia berhasil seperti sekarang,” jelas Sanghyun dengan mata menerawang menatap langit malam yang hanya dihiasi bulan dan beberapa bintang.

“Benarkah? Oh ya, apa rumahmu ini memang sebesar ini dari dulu?”

“Tentu saja tidak. Rumah ini kecil sekali dulunya,” jawabnya.

“Ayahmu hebat sekali. Sudah kuduga dia adalah ayah yang baik. Kau tahu tidak? Ayahmu selalu saja bercerita tentang anak-anakny saat kami bermain catur tadi,” terangku menatap wajahnya dari samping.

“Cerita tentang kami? Tentang semuanya?” kulihat Sanghyun agak panik.

“Tentu. Termasuk cerita tentang Sanghyun kecil yang suka sekali bernyanyi diatas rumah pohon dengan kacamata hitam juga botol air mineral sebagai mic. Berlagak seperti seorang superstar sedang konser, hmph,” kataku sambil tertawa tertahan. Menggoda pria yang satu ini sudah jadi hobi baruku.

“Aish, kenapa ayah bercerita sebanyak itu pada orang sepertimu sih?” erangnya frustasi.

“Hahaha. Kau harus menerima kenyataan, Sanghyun ssi!” godaku lagi sementara ia menekuk wajahnya, lucu.

“Ia bahkan tak pernah cerita sebanyak itu pada anak-anaknya selama setahun ini,”

“Bukan dia, tapi anak-anaknyalah yang menjauh. Kata paman, semenjak meninggalnya ibumu ia merasa kesepian, ditambah kedua kakak perempuanmu yang seakan meninggalkannya untuk musik. Karena itulah, ia tak ingin kau juga meninggalkannya lagi-lagi untuk alasan yang sama, musik,” ujarku menjelaskan. Matanya terus menatapku saat aku sedang bicara. Ada segurat kesedihan disana.

“Kau tahu Sanghyun ssi? Kau beruntung. Dulu waktu aku maish kecil aku ingin sekali punya ruah pohon. Ayahku setuju akan membuatkannya dengan syarat jika aku masuk peringkat 3 besar. Saat itu aku benar-benar senang. Aku belajar dengan tekun untuk itu, sampai pada akhirnya aku dapat peringkat 1,” tanpa kusadari, mulutku bercerita banyak pada orang ini.

“Lalu? Kau mendapatkan rumah pohonnya?” tanyanya penasaran yang kujawab dengan gelengan pelan.

“Tidak. Kenapa? Karena ayahku meninggal. Ternyata selama itu ia menderita kanker dan menyembunyikannya dari kami. Saat kami tahu semuanya, itu semua sudah terlambat,” lanjutku. Kurasakan mataku memanas saat menceritakan kenangan pahit itu. Sanghyun menatapku nanar. Bagaimana ini? Aku ingin menangis.

“Menangislah,” ujar Sanghyun seraya menarik kepalaku untuk bersandar didadanya. Tangisku bertabah keras. Beberapa menit terlewati, aku sudah bisa mengontrol diriku. Kutegakkan kepalaku yang tadi bersandar didadanya.

“Sanghyun ssi, percaya atau tidak, beberapa saat tadi aku merasa seperti pemeran utama wanita di drama, haha,” kataku mencoba bercanda.

“Drama? Maksudnya?” tanya Sanghyun tak mengerti.

“Seperti kita sekarang. Di malam hari menatap langit berdua sembari mendengarkan lagu dari headset yang saa, lalu setelah itu si pria biasanya akan –“ aku belum menyelesaikan perkataanku ketika kurasakan sebuah benda tiba-tiba terpasang dipunggungku.

Sebuah jaket berwarna abu-abu tersampir rapi disana. Kutatap si empunya –Sanghyun dengan tatapan bingung, namun pria itu membalas tatapanku dengan sebuah senyum hangat.

“Si pria tokoh utama akan melepaskan jaket yang dipakainya dan kemudian memberikannya pada si wanita. Begitu kan setelahnya?” tanya Sanghyun balik diiringi tatapan dan senyum yang bisa membuat siapa saja meleleh. Oh tuhan, lagi-lagi jantungku berdebar keras. Sebenarnya ada apa dengan jantungku? Atau jangan-jangan ini adalah gejala dari penyakit baru yang belum ditemukan obatnya? Sanghyun ssi, kau curang. Lihat saja, aku akan membuatmu merasakan hal yang sama.

“Setelah headset dan jaket, kau tahu apa selanjutnya? Selanjutnya si wanita akan menyandarkan kepalanya di bahu si pria, seperti ini,” kusandarkan kepalaku di bahunya. Bisa ditebak, ia agak terlonjak dengan muka yang bersemu merah. Ya ampun, aku serius saat bilang menggodanya adalah hobi baruku.

Kami berdua terdiam dalam posisi ini, terlarut dalam atmosfir yang kami ciptakan sendiri. Ada sebuah perasaan hangat dihatiku saat ini, dan kurasa pria disampingku juga merasakannya karena ia sama sekali tidak bergerak ataupun protes. Entah kenapa, aku yakin di masa depan aku akan lebih sering merasakan perasaan tidak biasa ini.

TBC

Gimana? Gimana? Bagus ngga? Author udah parno duluan nih sebelom di post..

Berasa ngga feelnya? Mencoba untuk bikin adegan romantis tapi gini hasilnya-_- maklum yah readers baik hati~ *ngerayuceritanya

Okelah, komen ya, biar tau authornya mau dilanjutin kaya gimana ini fanfic? Author bingung juga soalnya.. btw, mohon maaf lahir batin yaa kalau author punya sedikit salah

readers: bukan sedikit lagi, tapi segudang, secara jarang banget update

author: haha, yg lalu biarkan berlalu, mari bersama kita tatap masa depan yang cerah *apadeh?

Aish, lupakan! Tunggu MP part 4 ya, jangan bosen2~

23 tanggapan untuk “My Precious part 3

  1. Next next… Lanjut dong auter.. Bagus neh crtany.. Sukaa.. Pnsrn jiyeon-sanghyun bakal pacaran bnrn G̲̮̲̅͡ÅК̲̮̲̅͡?smg iya ya..

  2. Ceritanya makin seru thor nd feelnya dpat kok, dpat bnget malah =D
    D tnggu part selanjutnya^^

  3. yah thor saya kelewat, intinya saya cuma mau bilang ff nya bagus.
    Dan perlukah saya minta maaf krn saya bru komen sekarang nih

    1. okeh..
      enek? kok tersinggung ya??ngga jadi terusin deh, ntar di part 4 muntah lagi, haha
      just kidding..sip, tapi kapan2 yaa

  4. Ya ampuuuuun… Ini rame pake banget loooooh… Aku udah nunggu next part ff ini lama banget, ini munculnya kapan yaa? akhirnya muncul juga dan tidak mengecewakan hihi^^
    Ini penasaran banget si Jenny eonni tuh siapa yaa? Hem… Mau nanya juga nih, ini ff sampe part berapa yaa? Hehe ;p Aku mau pesen nih, part selanjutnya cepatan dipublish yaa ga sabar banget, jangan sampe suruh nunggu sebulan wkwk

    1. rame? perasaan ngga ada yg marawisan?-.- hehe, just kidding~
      maaf ya, aku males, eh, sibuk, soalnya (ketauan deh :p)
      jenny? nanti lama-lama juga kebongkar kok
      berapa part ya? mungkin sampe part 7
      pesenannya ditampung yah..okeh, ngga sebulan kok, cum 2 bulan *gubrakk
      LOL~

  5. Akhr’x update jga. . .
    Cerita’x makin seru. . . Q ska bnget. . .

    Qra2 apa Rahasia Jenny yach. . ? Bkin pnsran. . !!!

    Thunder-Jiyeon kpan Jadian yg real. . .
    Pngen Liat mreka Romantis2an. . .

    D’tunggu next part’x. . . Yg Cpet donkk thor Update ni FF. . .

  6. ah, benarkah? benarkah? benarkah? (sekali lagi ditabok)
    benarkah? #plakk
    maaf, maaf, aku seneng banget sih parkleni pengunjung setia blog ini bilang bagus ff nya..haha

    oke~

    1. bener kok.. Hhe..

      Soalnya FF di blog kmu main castnya bias bias aku.. JiYeon, Kyuhyun, Thunder… Haha.. Aku suka ma mereka..

      Eh, pas dibaca story nya juga keren bgttzz… Suka bgtz dehh… Joahae.. Haha.. 😀

      update soon yahhh… Yg seriously juga kpan update??? 😀

      1. wahh.. aku udah di awan nih~ haha
        aku mau update ff series baru yg castnya yoseob jiyeon lho! (-_-MP, aja belom selese) haha, jangan hiraukan

        makasih, oh y, aku 95line, kamu?

        seriously kim il sung yang bikin, bukan aku..

      2. ohh.. Beda author.. Hhe.. Mianhae…

        Iyah moga cepet publish deh ff nya.. Yg pnting maen cast femalenya uri jiyeonie.. 😀

        aku 94 line 😀

  7. selalu ditunggu !!
    Jiaaah atsmosfir cinta kekekek lanjuut..lanjuutt..
    Eh jenny oenny tt ada rahasia apa?
    Huaaah makin penasaran

  8. akhirnya muncul juga ff ini… Makin seru.. Feelnya juga dapet kok.. Daebak deh bwt author..

    Update soon 😀

Tinggalkan Balasan ke nazha Batalkan balasan